Dosenku yang cantik |
Bu dosen itu masih muda, cantik dan pintar lagi, siapa juga lelaki yang nggak betah bin lengket kalau berada dekat dengannya. Itulah gambaran singkat ibu dosen yang kerap kali kuantar hilir mudik dari komplek ke kampusnya.
Diantara rombongan tukang ojek yang mangkal dikomplek perumahan ini, dan dibandingkan dengan tujuh orang pemuda dengan ketampanan disepanjang “jalan kenangan”, maka aku merasa paling beruntung karenabu dosen yang manis itu memilih menjadi klienku dibisnis tranportasi cepat, murah dan rapat ini.
Singkat kisah singkat cerita yang mengalir indah layaknya aliran sungai begawan solo, aku dan bu dosen kian hari kian akrab, kami yang tadinya terikat hubungan bisnis semata, akhirnya bermetamorfosis menjadi hubungan persahabatan yang rapat, semepet posisi duduk tukang ojek dengan yang diojekin.
Tiap hari aku dan bu dosen selalu bersua, mengantarkannya berangkat dari komplek ke kampus yang merupakan rute utama kami, akhirnya mulai berubah rute menjadi komplek – kampus – kantin – warung lesehan hingga cafe. Kalau dipikir-pikir sih memang tidak ada yang salah dalam hubungan ini, bu dosen masih single ting-ting dan diriku juga masih single tong-tong jadi sebenarnya cukup klop juga sih seandainya hubungan ini mau manjat naik tangga ketingkat jemuran rumah, walaupun aku sadar bahwa jemuran dirumah bu dosen letaknya dilantai tiga, tentu saja ini membutuhkan perjuangan berat bukan hanya sekedar bisa manjat namun juga dibutuhkan kesiapan mental untuk jatuh pontang-panting, grudak-gruduk kalau salah-salah pijak bagian dindingnya.
Namun demikian, jujur sebagai lelaki dengan daya jelajah bebas parkir dan razia karena mentaati peraturan lalu lintas, sesungguhnya diriku tidaklah gampang untuk tergoda apalagi jatuh cinta, secara diprofesiku ini kami harus profesional, karena kalau tidak profesional bisa-bisa nenek yang masih gadis dan banci kaleng berwajah syahrini langganan lamaku dapat menjadi pencetus terjadinya skandal transportasi. Oleh karena itu walaupun telah demikian rapat dengan bu Dosen, aku tetap bersikap profesional dan menjaga jarak jangkauan clottt yang telah ditentukan oleh kode etik profesi ini.
~o0o~
Singkat kisah singkat cerita versi kedua, sudah tiga hari ini bu Dosen tak kulihat, tak kupandang dan tak kutemukan menyapaku dalam senyum, dalam kerling juga dalam kata, sehingga rasanya motor semata garongku menjadi dingin jok-nya karena tak dihangati oleh boxkong bu Dosen yang biasanya membuat getarannya menjadi lembut karena tahu mahluk apa yang sedang dibawanya.
Dihari keempat akhirnya bu Dosen yang kunanti, hadir dengan senyum manis lengkap dengan lesung pipitnya yang segenit merpati. Ada yang beda dengan bu Dosen, hari ini dia mengenakan kaos oblong warna pinky dipadu dengan celana jeans press pant, dan yang bikin aneh bu Dosen siang ini tak mengajakku untuk ke kampus tapi langsung ke Kenthir cafe’ tempat kami biasa ngetem kalau dia lagi pengen curhat atau sumpek bin galau. Nah, disinilah sebenarnya kisah sisi cermin retak ini dimulai :
“Her, kamu kangen nggak padaku?” ujar bu Dosen bertanya padaku sambil tersenyum manis.
“Uhuks.... apa bu.....?” ujarku balik bertanya karena sedikit shock bin terkejut.
“Herry.... jawab saja yah, kamu kangen nggak padaku?” tanya bu Dosen kembali.
“Aaaapa.... bu dosen, hahahaha kangen walah ibu becanda nih” ujarku berusaha menjawab dengan tawa yang dipaksakan karena deg-deg ser dengan pertanyaan bu Dosen yang kurasakan bagai ngompol dicelana.
“Herry.... ih kamu, pertanyaannya khan jelas tuh, kamu kangen nggak padaku? Tinggal jawab iya atau tidak khan nggak susah dong jawabnya, coba deh kamu yang balik tanya padaku pertanyaan itu” ujar bu Dosen dengan santai dan datar dibarengin dengan senyumannya yang khas dan menggoda itu.
Dengan berat hati karena malu, akhirnya kuberanikan diri bertanya padanya dengan kalimat tanya yang sama “Ehm...bu Dosen, kangen nggak denganku?”
“Iya dong, kangen pastinya” jawab bu Dosen dengan santainya.
“Walah.... bu... waduh saya jadimalu bu” ujarku plus kondisi atas bawah tersipu.
“Hehehehe jangan tersipu seperti itu dong Her, khan gampang tinggal jawab iya atau tidak, nggak susah khan?” ujar bu Dosen tetap santai.
“Tapi bu.... khan nggak semudah itu menjawabnya, tentu harus pakai mikir dong bu” jawabku.
“Herry... herry yang manis, nggak gitu kok... pokoknya kamu tinggal jawab iya atau tidak, lalu biarkan saya yang mengolah artinya dalam benakku, jadi jangan memaksa diri memberatkan persepsimu yah, nah sekarang saya tanya lagi, kamu cinta nggak padaku? jawab iya atau tidak yah” ujar bu Dosen kembali dengan suara merdunya yang lembut plus tatapan matanya yang menggoda.
Dadaku yang sedari tadi sudah dagdigdugder kali ini malah klimaks banget mendengar pertanyaan bu Dosen yang demikian menantang bagian luar dan dalam diriku, tapi entah mengapa tanpa sadar tanganku menggenggam tangan bu Dosen dan meremasnya pelan, sambil berkata “ehm... maaf bu Dosen, beri saya waktu untuk menjawabnya”.
“Hihihi, herry... herry meremasnya pelan-pelan ajah yah, itu tangan say bukan bukit jadi nggak elastis, lho masa kamu nggak bisa jawab iya atau tidak sih Her? Gini deh gampangnya sekarang kamu deh yang tanya padaku pertanyaan itu yah” ujar bu Dosen tetap dengan senyum dan tatapannya yang menggoda malaikat sekaligus setan diotakku.
Seakan-akan tak percaya kupingku mendengar tantangan yang sama tersebut diulang kembali oleh bu Dosen, walaupun dengan wajah tersipu asap knalpot sekalipun maka kuberanikan diri melakukan apa yang dia minta yakni bertanya kepadanya “Ehm.. bu DosenCinta nggak sih padaku?”
“Iya, aku cinta padamu Her” jawab bu Dosen santai sembari menatap mataku dalam.
“Waduh!!!” ujarku terkejut otomatis tegang plus tampang berubah biru campur arang.
“hahahahah biasa aja kali Her, dirimu harus belajar bahwa kerap kali kata Cinta bukan hanya sesempit hubungan antara kau dan aku, hubungan antara sepasang kekasih, tapi jujur aku cinta padamu kok, sebagai saudara se-iman yang mencintai saudaranya, nggak salah dan sederhana khan?” ujar bu Dosen masih tersenyum simpul dengan tatapan lucu menatapku.
“Hehehe, iya bu Dosen bener juga yah, ahay... jujur saya tadi sudah hampir berpikir mesum lho” ujarku menjawab sembari terkekeh berbau malu karena telah jauh mengkhayal.
“Lho... kok mesum sih Her?” ujar bu Dosen bertanya padaku.
“Iya bu... hehehe mesum-ku adalah Mencintai Sesama Umat-Nya bu dosen” ujarku menjawab.
~o0o~
Hari ini dan disini, kerap kali masih terngiang dalam hati “Ahhh... sungguh kau tak sedang menepuk angin bu Dosen” karena kini kusadari bahwa cinta itu tak selalu sepaket dengan nafsu, sembari belajar membiarkan semua mengalir apa adanya. Yang pasti aku cukup senang rasanya dapat bertemu tiap hari denganmu bu Dosen, karena kini diriku telah naik level dari Ojek Pribadimu menjadi Supir Pribadi Suamimu
0 comments:
Post a Comment