Bercinta Dengan Atasannya |
“Kaylaaaa…. !!”
Teriakan menggelegar itu diikuti suara tangan beradu dengan pintu.
Braaak !!!
Hmm, pemandangan biasa. Hal itu sudah menjadi makanan sehari – hari di divisi ini selama 3 bulan terakhir. Cepat derap langkah kaki itu menuju mejaku karena memang akulah manusia yang menyandang nama Kayla. Ku tarik napas panjang untuk menyiapkan mentalku menghadapi atasan baru yang rewel itu. Dan benar saja, tarikan napasku itu diakhiri dengan bantingan kertas – kertas hasil lemburku sampai jam 11 tadi malam.
Arrrg ! Geram rasanya, Pak Bos gak tau apa, kertas itu ada, setelah melalui perjuangan panjang melelahkan. Menjelajahi sudut – sudut kota Jakarta yang kumuh ditemani pengap, keringat dan juga sengat terik mentari. Belum lagi sesudah itu, otak ini diperas agar bisa merangkai kata demi kata menjadi baris indah kalimat yang pantas untuk dipajang di majalah berskala nasional. Panjang perjuanganku agar kertas itu bisa ada. Sekarang dengan santainya dicampakkannya.
Sejak mbak Eno pindah, divisiku ini dipimpin Bos muda yang punya hobi sangat tak berbudi. Hobinya marah – marah ! Teriak – teriak. Dan banting – banting karya perjuanganku !!! Uuuuh ! M.E.N.Y.E.B.A.L.K.A.N.
“Tulisan apa ini?!” umpatnya lagi.
“Kamu pikir majalah kita ini sekelas dengan koran – koran pinggir jalan apa?!”
Kali ini kulihat urat – urat dilehernya menegang. Pak Bos telah menjelma jadi sosok yang mengerikan, semengerikan dementor di novel Harry Potter.
“Foto-fotonya blur !!”
“Nara sumber gak jelas !”
Dan bla.. bla..bla.. bla.. bla.. bla.. bla.. bla..
Bla.. bla.. bla.. bla.. bla.. bla.. bla.. bla..
Malas rasanya mendengar makiannya. Tapi terpaksa ku telan kicau nyaringnya itu kalau aku tak mau kehilangan pekerjaanku. Menulis adalah hidupku, jadi omelan sedikit tak apalah.
Tiba – tiba pak Bos mencondongkan tubuhnya ke mejaku (tentu saja sambil tetap mengomel) namun serentak indera penciumanku sibuk membaui aroma woody musky yang kental.
Alamaaak !! Baru aku sadar pak Bos ini seleranya boleh juga ! Pak Bos masih sibuk memuaskan amarahnya, namun tak kuperhatikan lagi omelannya. Karena aku juga SIBUK! Sibuk memandangi wajah merah padamnya. Sibuk memperhatikan dengan seksama tulang pipinya yang tinggi, yang berpadu sempurna dengan hidung bangirnya. Dan bibirnya.. echm bibirnya basah mengundang. Terpaksa kutelan ludahku melihat pemandangan eksotis ini.
Belum lagi rahang kokoh yang membingkai wajahnya diselimuti bulu-bulu rapi bekas cukuran tadi pagi. Sangat menggoda !! Kemeja Mark & Spencernya yang berwarna biru muda serasi dengan celana biru donker yang sayangnya tak kutahu mereknya apa. Tapi yang pasti pakaian itu menyembunyikan tubuh kekar hasil olahan fitness dengan sempurna. Yang justru membuatku semakin bergelora. Terbayang perut six pack dan dada bidang yang liat. Wooow.. ! chief editor ini muda, ganteng, eksotis, dan pemarah. Kombinasi yang langka ! tapi aku suka Tak bisa kutahan lagi, imajinasi liar pun berlompatan di kepalaku.
“Apa perlu kamu saya beri kuliah tambahan tentang gaya hidup?!” masih kudengar makian pedasnya. Duuch ! Ribut sekali Chief editor ini. Walaupun harus kuakui semakin ia marah semakin ia terlihat menantang.
“Pakai otak Kayla…!”
“Dengar ya, asah naluri jurnalismu, jangan seperti anak magang !”
Telingaku panas. Kalau ia cuma bernyanyi sumbang kuping ini sudah tuli tapi kalau sudah sampai pada tahap hina-menghina. Aaaraargh.. ! Darahku mendidih ! Setengah jam yang menyiksa dan kesabaranku habis. Kurang ajar betul. Masa 5 tahun pengalamanku sebagai reporter disamakan dengan anak magang !!! Sepertinya dia yang gak pake otak !! Gigiku bergemertak. Ku atupkan mulutku dan tanpa sadar aku bangkit dari kursiku. Kuhampiri chief editor sombong yang berdiri di balik mejaku.
IA MEMANG HARUS DIBERI PELAJARAN.
Ekspresi wajahnya penuh keheranan manakala aku berjalan kearahnya. Mungkin tak akan pernah disangkanya aku berani berdiri menantangnya. Mata kami beradu. Kini hanya uap hembusan nafas yang menjadi jarak kami. Dadaku berdegub kencang menahan amarah. Sorot mataku tajam menatapnya sembari kucondongkan tubuhku. Dekat. Sangat dekat hingga tanpa sengaja dapat kurasakan payudarakuku beradu lembut bidang dadanya. Kulepaskan kacamataku dan ku kibaskan legam hitam rambutku.
Dalam nanar sirat matanya, kulihat ia menghela nafas namun tak se inchi pun ia menghindar (huh siapa yang mampu menolak kenyal buah dadaku). Cukup sudah ia memakiku. Sekarang giliranku untuk melumatnya ! Dalam panas ciuman tentu saja. Dan tanpa banyak bicara lagi, ku rengkuh ia dalam pelukku.
0 comments:
Post a Comment